image
image

Aku Iri denganmu


Posted : | 2016/09/07

Hasil gambar untuk iri
rumahjurnalku.blogspot.com
Pikiranku melayang-layang entah apa yang sedang aku pikirkan. Perasaanku tak menentu hatiku tak tahu tentang apa yang sedang aku rasakan. Aku terdiam dalam lamunan, semakin dalam dan sangat dalam. Kepalaku mulai terasa berat, terasa pusing dan mulai terkantuk-kantuk, aku pun tertidur dengan hp masih di genggamanku.

***

Hp bergetar, aku terbangun.

Kutatap layar ponsel. Aku mulai kegirangan. ada Sms dari temen, dia minta bantuan. Aku memang suka membantu walaupun kadang gagal. Aku merasa hidupku lebih bahagia ketika aku membantu orang lain, membahagiakan orang lain. Karena dengan adanya orang yang membutuhkanku berarti hidupku masih berarti bagi orang lain, aku merasa masih ada yang membutuhkanku, aku merasa lebih bahagia seperti mendapat semangat baru.

Tanpa pikir panjang aku mengiyakannya.

***

Pagi harinya aku berangkat kuliah lebih santai karena minggu sebelumnya sudah ada pernyataan dari dosen yang mengajar pagi ini bahwa beliau berangkat lebih siang yang seharusnya masuk jam
7. Aku berangkat lebih santai dari biasanya, aku menikmati perjalanan yang terasa lebih mengasyikkan, pagi ini terasa lebih Indah.

***

Adzan dhuhur berkumandang dosen mencukupkan pertemuan hari ini. Aku tersenyum penuh kemenangan. Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Aku mulai bisa memahami karakter dosen satu persatu.

Hari ini aku hanya punya jadwal dua mata kuliah. Aku lebih santai menikmati waktu luang yang lumayan panjang. Pikiranku lebih terasa ringan tidak seperti malam-malam yang lalu. Aku masih enggan keluar dari ruang kelas.

Aku teringat ponselku sudah habis batereinya sejak dari tadi pagi. Seperti biasanya, ambil netbook+kabel data, powerbank kekinian hehe. Ponsel mulai nyala animasi baterei mengisi. Kunyalakan ponsel, menunggu proses booting, proses pencarian sinyal otomatis, dan muncul pemberitahuan sms. Ternyata temanku sudah menunggu di gedung sebelah. Ku matikan netbook dan ku masukkan ke tas dan bergegas keluar kelas. Aku menatap gedung sebelah. Dia sudah terlihat. Suasana di sekitarnya ramai dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang sedang sibuk dengan kesibukannya.

Aku masih diam di tempat sambil memandang ke arahnya, tapi dia tak melihatku. Aku masih enggan melangkahkan kaki ke arahnya. Aku hanya memastikan bahwa yang kulihat adalah dirinya.

"Safi." Terdengar suara temanku memanggilku dari jauh.

"Hei." Aku membalas sekenanya.

"Kamu bawa laptop nggak?" Tanyanya sambil berjalan ke arahku.

"Bawa, kenapa?"

"Ayo lanjutkan." Ajaknya.

"Lanjutkan apa?" Aku masih bingung.

"Downloadnya lah."

Aku mulai teringat dengan download-an yang belum selesai waktu itu. Aku mengiyakan ajakannya.

Teman yang satu ini cukup aneh. Kadang dia seperti anak kecil yang merengek minta sesuatu. Kadang seperti orang dewasa yang berlagak seperti paling tahu. Dan kali ini dia masih seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu, hari ini aku menurutinya. Aku mengabaikan janji untuk membantu dulu. Bukan karena aku tidak mau menemuinya, tapi aku merasa saat ini adalah saat yang belum tepat. Jam masih menunjukkan pukul 12.30 itu tandanya masih ada waktu satu satu jam setengah lagi untuk bertemu dan menepati janji untuk bertemu siang ini.

"Ayo ke depan rektorat." Ajak temanku

"Ayo." Jawabku.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 12.45 download-an tidak bisa dilanjutkan dan dengan terpaksa temanku harus masuk ke kelas kerena dia masih ada jadwal kuliah. Dia berjalan ke kelasnya dan aku menemui teman yang sejak sudah lumayan lama menunggu. Dia tidak sendirian, dia pura-pura tidak melihatku. Teman di sebelahnya tersenyum entah apa maksudnya.

"Ah, sial harus bertemu di saat-saat seperti ini."

Aku sebenarnya tidak ada masalah. Tapi dengan keadaan yang seperti ini bisa jadi memunculkan benih-benih fitnah diantara teman-temannya. Aku tidak mau dikira caper, dikira siapanya, lebih-lebih dikira pacarnya. Aku tidak mau membuat orang lain cemburu karena kedatanganku.

Aku melihat ada orang lain yang perhatian dengannya, dan aku tak mau berurusan dengan hal yang seperti itu. Tapi apa yang bisa kubuat. Aku sudah terlanjur mengiyakannya.
Seperti biasa dia tersenyum kepadaku. Dan aku tersenyum padanya, entah apa apa maksudnya. Kali ini bukan hanya dia yang tersenyum, tapi teman di sebelahnya pun ikut tersenyum.
Senyuman yang penuh dengan kecurigaan. Kubiarkan mereka berprasangka, kubiarkan mereka menilaiku sebebas-bebasnya. Entah apa yang ada di pikiran teman-temannya.

Dia mulai membuka pembicaraan, menceritakan semua yang sudah dilakukannya tentang ponselnya yang katanya aneh dan lain sebagainya, kemudian dia menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku penasaran dengan apa yang dia ceritakan tentang keanehan ponselnya dan aku mulai menelusuri satu persatu. Aku juga mulai merasakan keanehannya bahkan aku hampir menyerahkan ponselnya.

Aku terdiam sejenak, aku mencoba berfikir, aku merasa bahwa ini ada kesalahan yang perlu di telusuri lebih lanjut, aku menghirup nafas panjang.

Aku melihat ke arahnya. Dia masih sibuk dengan diskusinya. Ku perhatikan arah pembicaraannya, mereka sedang membicarakan materi kuliah. Aku masih memperhatikan pembicaraan mereka sambil menatap ke arah ponselnya.

Begitu indahnya jadi dia yang selalu ditemani oleh teman-teman yang selalu membantu setiap kesulitannya. Aku iri melihatnya, namun aku hanya bisa memandangnya tanpa bisa berbuat apa-apa.
CB